Pulau Satonda
Menjelajahi pulau vulkanis dan berenang di danau berair asin.
Oleh Eddy Raharjo
Gapura bertuliskan “Welcome to Satonda
Island” menyambut kedatangan kami. Tampak di belakangnya beberapa bangunan kecil yang kondisinya kurang terawat. Kesunyian menyelimuti atmosfer pulau seluas 4,8 kilometer persegi ini. Keheningan lalu pecah oleh kehadiran rombongan turis asing yang tengah bersantai di pantai. Satonda memang lebih dikenal oleh wisatawan mancanegara ketimbang domestik. Mereka biasanya singgah untuk snorkeling dalam perjalanan naik kapal pesiar dari Bali menuju Taman Nasional Komodo.
Satonda terletak di Laut Flores, sekitar tiga kilometer sisi utara semenanjung Sanggar, Nusa Tenggara Barat. Pulau vulkanis ini begitu terkenal di dunia, setidaknya di kalangan ilmuwan, karena memiliki danau berair asin seluas 0,8 kilometer persegi di tengahnya. Air di danau bergerak naik-turun secara natural mengikuti pasang-surutnya air laut di sekitarnya. Satu lagi kekayaan Indonesia yang diagungkan dunia, tapi sayangnya kurang populer di kalangan warganya sendiri.
Saya dan seorang teman meluncur ke Satonda dari Pantai Lakey, surga selancar di selatan Dompu, NTB. Kami naik motor, menyusuri medan berat selama lima jam menuju Nangamiro, desa terdekat dari Satonda. Sebagian besar jalan rusak parah, dipenuhi lubang di sana-sini, beberapa bahkan masih berupa jalan tanah. Oleng sedikit saja, bibir kami akan mencium ratusan kerikil tajam. Dompu dan Nangamiro terpisah sejauh 110 kilometer. Idealnya bisa ditempuh dalam waktu tiga jam, tapi akibat kondisi jalan yang memprihatinkan, waktu tempuh membengkak jadi lima jam.
Kami tiba di Nangamiro tepat pada pukul 13:45 WITA dan langsung menuju pantai. Satonda yang terbalut warna hijau terlihat di kejauhan. Berdasarkan informasi dari sejumlah nelayan, kami mendapatkan nama Bapak Abdurrahman, penjaga pulau yang merangkap pemandu. Ia biasa mengantar pelancong asing ke Satonda.
Abdurrahman mengantar kami ke rumahnya yang terletak tak jauh dari pantai. Kediamannya berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu. Kami menitipkan ransel, meninggalkan sebagian besar barang kecuali perlengkapan snorkeling, pakaian, kudapan, dan kamera.
Kami berlayar ke Satonda menggunakan perahu motor kecil bercadik bersama Abdurrahman dan seorang nakhoda. Laut sangat tenang, tanpa ombak. Setelah 30 menit, kami merapat di pesisir berpasir putih.
Abdurrahman langsung membawa kami ke tengah pulau. Jalanan kian menanjak. Sesampainya di puncak, mata saya dikejutkan oleh pemandangan indah danau cantik berwarna hijau yang dibingkai pepohonan rimbun. Sebuah bukit kecil menjulang di seberangnya. Inilah Danau Satonda.
Kami duduk-duduk sembari menikmati camilan di gubuk kecil di tepi danau. Suasananya begitu hening dan damai. Sese-kali terdengar kicauan burung dan riak-riak air. Sebuah pohon menarik perhatian saya. Di rantingnya tergantung banyak batu. Pohon ini dianggap suci oleh warga, dan batu-batu yang bergelantungan mewakili doa dan harapan mereka. Tak peduli benar-tidaknya mitos itu, saya ikut menggantungkan sebuah batu yang disertai panjatan doa.
Puas mengambil foto, saya dan teman segera mencem-plungkan diri ke danau. Kedalaman air bervariasi, antara 15-69 meter. Karena hanya membawa sebuah masker dan snorkel, kami harus bergantian saat snorkeling. Ternyata betul, rasa air danau memang asin, di beberapa tempat bahkan lebih asin dibanding air laut. Mungkin ini sebabnya tak banyak biota yang mampu hidup di dalamnya.
Sebuah sumber di internet menyebutkan danau ini sejatinya merupakan kaldera Gunung Satonda yang berdiri sekitar 2.000 SM. Pada 1815, Gunung Tambora di Dompu meletus dan mengirimkan ombak besar yang membanjiri kaldera Satonda, lalu menyulapnya menjadi danau berair asin. Banyak peneliti, baik lokal maupun asing, pernah singgah di danau ini. Pada 2008, peneliti dari BP Migas dan Universitas Gadjah Mada menemukan terumbu karang yang mengandung minyak dan gas bumi. Sepatutnya, Satonda aman dari aktivitas pertambangan, sebab ia telah ditetapkan sebagai Taman Wisata pada 1999 oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan kini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTB.
Kelar berenang di danau, kami melanjutkan petualangan ke area lain di pulau. Kami meniti puluhan anak tangga di tepi danau. Ingin rasanya mendaki hingga ke titik tertinggi, tetapi medannya dibentengi semak belukar dan kami tak punya sabit atau golok untuk meretas jalan. Akhirnya kami turun ke pantai di dekat dermaga guna melanjutkan snorkeling. Saya harus berenang agak ke tengah untuk mencari area yang bagus. Sangat disayangkan, banyak terumbu karang yang hancur. Ikan pun minim. Saya berenang lebih jauh ke tengah untuk mencari terumbu karang berwarna-warni. Ikan aneka bentuk berenang berseliweran di sekitar saya.
Kembali ke darat, kami menghabiskan sore dengan berjalan-jalan di sekitar dermaga dan pantai. Beberapa pantai ditumbuhi batu-batu berukuran tambun. Pantai cantik ini begitu sepi. Tempat yang sempurna untuk membenamkan diri dalam keindahan alam.
Getting there
Secara administratif, Pulau Satonda berada di wilayah Desa Nangamiro, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Perjalanan ke Satonda bisa ditempuh menggunakan mobil atau kendaraan umum dari Sumbawa Besar selama delapan jam, atau dari Dompu selama lima jam, disambung penyeberangan laut dari Desa Nangamiro sekitar 30 menit menggunakan perahu dengan tarif pp Rp25.000 per orang. Penerbangan dari Mataram ke Sumbawa Besar dilayani oleh Trans Nusa (Rp770.000), sementara dari Jakarta ke Mataram dilayani antara lain oleh Lion Air (Rp 1.297.600) dan Merpati Nusantara (Rp1.780.600)—semua harga pp di Juni. Alternatif lain adalah dengan naik kapal pesiar jurusan Flores dari Lombok atau Bali. Kapal biasanya bersedia singgah di Satonda.
Komentar
Posting Komentar